Kebahagiaan
dunia dan akhirat menjadi dambaan bersama, mendapatkan petunjuk dan hidayah
dalam mengarungi kehidupan dunia adalah keinginan setiap insan beriman,
bagaimana tidak, sebab Allah telah berfirman,
"Dan apakah orang yang sudah mati (hatinya) kemudian Kami hidupkan
dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat
berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia serupa dengan orang yang
keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar
daripadanya?" (QS Al An'am: 122). Allah juga berfirman, "Maka apakah orang yang berjalan
terjungkel di atas mukanya itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang
yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?" (QS Al Mulk: 22).
Di dalam ayat
yang mulia ini Allah subhanahu wa ta'ala menggambarkan permisalan dua golongan
manusia yang berjalan di muka bumi dimana yang satunya dalam keadaan terjungkel
di atas mukanya, yakni mereka orang-orang yang tidak tahu jalan apa yang mesti
ditempuh dan kemana mesti berjalan, kebingungan dan tersesat. Sedangkan yang
lainnya berjalan dengan tegap di atas jalan yang lurus, yakni jelas, terang
dirinya dalam keadaan lurus dan jalan yang ditempuhnya pun lurus. (Lihat
Tafsirul Qur`anil Azhim: 4/417).
Para pembaca
-semoga dirahmati Allah- tidak ada harapan yang besar bagi siapapun kecuali
selalu ingin berada di samping sang kekasih dzat yang satu-satunya paling
berhak untuk dicintai. Dialah Allah dzat yang disifati dengan sifat mahabbah
(kecintaan), Dialah yang mencintai dan dicintai. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman
barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintaiNya." (QS Al Ma`idah: 54). Di dalam Shohih Bukhori no: 4210
dan Muslim no: 2406, dari sahabat Sahl bin Sa'ad, Rosulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda (pada hari perang Khaibar), "Aku akan serahkan bendera ini esok hari pada
seorang laki-laki yang mencintai Allah dan rosulNya dan dicintai Allah dan
rosulNya."
Tidak diragukan
lagi bahwa mahabbah (kecintaan) adalah salah satu sifat (sifat fi'liyyah) bagi
Allah dengan segala kesempurnaannya sesuai dengan kebesaran dan keagunganNya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Telah sepakat para salaful ummah
dan para imam-imamnya atas penetapan (sifat) kecintaan Allah bagi
hamba-hamnbaNya mu`minin dan kecintaan mereka terhadapNya." (Majmu'ul
Fatawa: 2/354).
Para pembaca
-semoga dirahmati Allah- kecintaan adalah landasan setiap amalan, manusia tidak
akan beramal / berbuat kecuali untuk hal-hal yang disukainya baik itu dalam
rangka mendatangkan kemanfaatan ataupun menolak perkara yang dapat
memudharatkannya. Oleh karena itu, maka segala macam ibadah tidak akan terbukti
kecuali bila memenuhi dua landasan yang sangat mendasar, yaitu: hubbun
taam (kecintaan yang sempurna) dan dzullun taam (ketundukan yang
sempurna). Karenanya, manusia terbagi menjadi empat golongan dalam hal
beribadah yang ada kaitan dengan kecintaan:
1.
Mereka yang beribadah kepada Allah karena mengharap
pahala saja tanpa ada kecintaan sedikitpun, merekalah yang telah disebutkan di
muka yaitu golongan Jahmiyyah.
2.
Mereka yang beribadah kepada Allah dengan kecintaan
yang sangat -atau diistilahkan dengan mabuk cinta- tetapi tanpa disertai dengan
rasa takut dari siksaNya dan pengharapan dari pahalaNya. Mereka adalah para
sufi jahil yang beranggapan bila
seseorang sudah sampai pada tingkatan hakikat menurut mereka ia telah bebas
dari tuntutan syari'at yakni perintah dan larangan.
3.
Mereka yang tidak beribadah kepada Allah tidak pula
mencintaiNya, sudah mafhum kalau mereka adalah orang-orang kafir.
4.
Mereka yang beribadah kepada Allah dengan penuh
kecintaan terhadapNya, mengharapkan pahalaNya, dan takut akan siksaNya, mereka
adalah golongan yang selamat firqotun najiyah ahlussunnah wal jama'ah. Maka
mahabatullah adalah mahabbatul ibadah yang dimaksudkan dengannya beribadah dan
mengagungkanNya.
Hakikat Cinta pada Allah
Setiap kita
tentu menginginkan kasih sayang dan kecintaan dari Allah jalla jalaaluhu,
tetapi tak sedikit yang tidak memperhatikan hal-hal yang dapat mendatangkan
kecintaanNya, apakah itu karena kejahilannya ataukah karena hawa nafsu yang
lebih mendominasi diri. Begitu juga sebaliknya mayoritas kita menyatakan cinta
pada Allah, tetapi kenyataannya mana cinta, mana dirinya, dan mana Allah? Cinta
pada Allah bukanlah sebatas ucapan mulut, apalagi kalau sekedar didendangkan
lewat "lagu" -sebagai ganti dari kata-kata "nasyid" agar
lebih mencocoki hakikatnya- ini hanya akan mendatangkan siulan dan tepuk tangan
yang meriah dari para durjana iblis tanda kemenangan. Lalu bagaimana kalau
begitu cara mencintai Allah? Al Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan,
"Allah menciptakan makhlukNya hanyalah agar beribadah kepadaNya dengan
menyempurnakan kecintaan untukNya dan ketundukan di hadapanNya disertai dengan
komitmen akan perintah-perintahNya, sedangkan landasan ibadah adalah kecintaan
terhadap Allah bahkan mengesakanNya dengan kecintaan. Bila kecintaan ini
menjadi hakikat peribadahan, maka sesungguhnya kecintaan itu hanya akan
terwujud dengan mengikuti perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya. Ketika
mengikuti segala perintah dan menjauhi laranganNya, maka ketika itu pulalah
akan nampak hakikat peribadahan dan mahabbah. Oleh karena itu Allah ta'ala
menjadikan ittiba' kepada rosulNya sebagai tanda kecintaan terhadapNya (Allah)
dan alibi bagi orang-orang yang mengakuinya. Allah berfirman, "Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.'
Allah maha pengampun lagi maha penyayang." (QS Ali Imran: 31).
Jelaslah bahwa
mengikuti rosulNya adalah hal yang disyaratkan dalam kecintaan terhadap Allah
dan sebagai syarat untuk mendapatkan kecintaanNya, maka sungguh sangatlah
mustahil wujud keberadaan cinta mereka kepada Allah dan kecintaan Allah
terhadap mereka bila tanpa adanya mutaba'ah." (Madarijus Salikin 1/99).
Para pembaca
-semoga dirahmati Allah- mutaba'ah kepada Rosulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam adalah juga sebagai lambang perwujudan cinta kepadanya, sedangkan cinta
kepadanya ialah mencintai apa yang telah dibawanya dari wahyu Kitab dan Sunnah,
beriman dengan seluruh apa yang tersirat di dalamnya dari
pemberitaan-pemberitaan dan mengikuti segala apa yang tertera padanya dari perintah
dan menjauhi larangan-larangannya serta menyerukan agar beriman kepada segala
hal yang disebutkan di atas dan mendahulukan ketaatan padanya di atas ketaatan
pada setiap makhluk. Barangsiapa yang terpenuhi pada dirinya perkara-perkara
ini, maka dia adalah orang yang mencintai Allah secara benar, jika tidak, maka
pengakuannya adalah pengakuan yang batil tidak memiliki sandaran dan dalil.
(Lihat Mudzakkirotul Hadits an Nawawi fil 'Aqidah wal Ittiba': 72).
Demikianlah
semoga kita selalu ditunjukinya ke jalan yang dicintai dan diridhoinya. Innahu
waliyyu dzalik wal qodir 'alaih. Wal 'ilmu 'indallah
Sumber: Bulletin Al Wala’ Wal Bara’. Edisi
ke-40 Tahun ke-1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar